Select Page

Keadilan Transisi dan Relevansinya untuk Papua

Keadilan transisi (transitional justice) adalah sebuah pendekatan yang muncul dari perjuangan mendorong pertanggungjawaban atas pelanggaran HAM yang meluas dan sistematik. Pendekatan ini menekankan pentingnya pengakuan terhadap penderitaan yang dialami oleh korban. Upaya ini dimaksudkan untuk menegakkan keadilan di lingkungan yang sedang bertransformasi menuju masyarakat demokratis. Berdasarkan pengalaman di berbagai negara, transformasi ini kadang berlangsung dengan cepat, namun di tempat lain sering pula berlangsung selama beberapa dekade.

Pendekatan ini mulai diartikulasikan di akhir tahun 1980an dan awal 1990an, khususnya sebagai respon atas perubahan politik dan tuntutan atas keadilan di Amerika Latin dan Eropa Timur. Para pekerja HAM mendorong penyelesaian pelanggaran HAM dalam konteks transformasi politik yang sedang berlangsung. Karena masa transformasi ini secara popular diistilahkan sebagai “transisi menuju demokrasi”, orang mulai menggunakan istilah “keadilan transisi” untuk mendeskripsikan berbagai macam intervensi yang dikembangkan untuk mendorong keadilan dalam proses transisi.

Keadilan transisi bukanlah sebuah bentuk keadilan yang khusus, ataupun keadilan tanpa proses pengadilan. Istilah “keadilan transisi” lebih dimaksudkan untuk menggambarkan berbagai upaya yang dilakukan oleh masyarakat dan negara dalam mendorong perubahan dari situasi yang dipenuhi pelanggaran HAM dalam skala yang luas menuju kehidupan yang lebih adil dan demokratis.

Dalam perkembangannya, terdapat empat kekhasan dari pendekatan ini, yaitu:

  • Pertama, adalah pentingnya pengakuan, penguatan, perlindungan dan partisipasi korban
  • Kedua, pemahaman bahwa tanpa pertanggungjawaban untuk pelanggaran HAM yang telah terjadi maka akan sulit untuk membangun perdamaian dan demokrasi yang kuat.
  • Ketiga, pendekatan yang holistik atau menyeluruh dibutuhkan untuk mengurai dampak dari pelanggaran HAM yang berat. Ini berarti diperlukan banyak cara untuk menghukum pelaku, memulihkan korban, mengakui pelanggaran yang telah terjadi, dan memastikan bahwa pelanggaran tidak terulang lagi dengan mengubah perilaku institusi-institusi yang terlibat dalam pelanggaran di masa lalu.
  • Keempat, keberhasilan mekanisme keadilan transisi bisa diukur berdasarkan pemenuhan standar dan kewajiban HAM, serta partisipasi dan rasa kepemilikan

Situasi transisi membutuhkan pendekatan yang menyeluruh atau holistik. Hal ini berarti bahwa tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh negara maupun masyarakat harus saling terkait dan melengkapi. Dilakukannya proses pengungkapan kebenaran tidak berarti menutup pintu terhadap kewajiban negara untuk menuntut pelaku di pengadilan. Sama halnya dengan reparasi bagi korban, hal ini tidak berarti proses pengungkapan kebenaran dan penuntutan ke pengadilan tidak diperlukan lagi.

Keadilan transisi meliputi tindakan-tindakan sebagai berikut:

  • Keadilan: Proses yudisial terhadap mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM. Tindakan ini bertujuan untuk menuntut pertanggungjawaban pelaku pelanggaran HAM dan mencegah terjadinya pelanggaran serupa di masa depan. Proses peradilan dapat dilakukan baik di tingkat domestik (artinya di negara tempat kejahatan itu terjadi), ataupun di tingkat internasional dengan menggunakan jurisdiksi universal. Selain tuntutan pidana, pertanggungjawaban pelaku juga dapat dilakukan lewat gugatan perdata.
  • Pengungkapan Kebenaran: Dilakukan secara resmi oleh negara maupun lewat upaya tidak resmi oleh masyarakat melalui komisi kebenaran, komisi penyelidikan, pendokumentasian, membuat hari peringatan peristiwa pelanggaran, membangun monumen atau upaya lainnya. Hasil dari upaya ini biasanya berupa rekomendasi untuk memulihkan korban dan mencegah terulangnya pelanggaran.
  • Reparasi: Korban adalah pihak yang menderita secara langsung segala akibat tindakan sewenang-wenang negara. Reparasi adalah upaya negara untuk memulihkan segala sesuatu yang telah dihancurkan karena kelalaian atau keterlibatan negara yang tidak melindungi warga negaranya. Program reparasi biasanya memberi manfaat materil dan simbolik kepada para korban, misalnya melalui permintaan maaf secara publik, pemberian kompensasi, pensiun atau beasiswa kepada korban, pelayanan kesehatan, dan upaya-upaya mencari orang hilang, pendirian monumen dll.
  • Reformasi Institusi, termasuk institusi keamanan: Upaya ini berusaha melakukan perubahan bagi institusi militer, polisi, dan kehakiman serta institusi negara lainnya dari alat penindasan dan korupsi menjadi instrumen pelayanan yang punya integritas publik. Salah satu upaya penting adalah memastikan bahwa pelaku kejahatan tidak diperbolehkan untuk terus memegang posisi dalam lembaga negara.
  • Keadilan Jender: Upaya ini menantang impunitas atas kekerasan seksual dan kekerasan berdasarkan gender dan memastikan akses setara bagi perempuan untuk pemulihan dari pelanggaran hak asasi manusia. Perempuan dan laki-laki mengalami konflik dan pelanggaran hak asasi manusia secara berbeda. Upaya pencapaian keadilan gender termasuk tuntutan hukum atas kekerasan berbasis gender; reparasi bagi perempuan dan keluarga mereka; situs peringatan yang mengakui pengalaman perempuan; dan reformasi institusional yang mencerminkan keseteraan dan mempromosikan akses perempuan atas keadilan.

Konteks Papua pada Saat Ini

Keadilan Transisi melibatkan berbagai mekanisme dan langkah-langkah yang diambil negara setelah konflik atau pada saat terjadi pelanggaran HAM massal. Pilar utama keadilan transisi adalah: kebenaran, keadilan, penuntutan, reparasi dan reformasi institusi. Ketika UU Otonomi Khusus No. 21 Tahun 2001 disahkan, banyak mekanisme keadilan transisi terkandung dalam Undang-Undang ini. Namun, 20 tahun undang-undang ini berjalan, kebanyakan mekanisme keadilan transisi belum juga terlaksana. Dengan disahkannya Otsus Jilid 2, kelambanan ini mungkin akan terus berlanjut.

Kebenaran: Pasal 46 Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 memasukkan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dengan tugas “klarifikasi sejarah dan rekonsiliasi”. Sampai saat ini, janji ini belum juga dipenuhi. Namun, sejak 2019 muncul seruan-seruan yang konsisten untuk pembentukan KKR di Papua. Meskipun beberapa mempertanyakan inisiatif ini melihat kekerasan yang masih terus berlanjut saat ini. Para pembuat undang-undang yang bertanggung jawab atas perpanjangan status Otonomi Khusus di Papua tahun 2021 tetap mempertahankan janji ini, meskipun terlihat tetap dipinggirkan.

Keadilan: Pasal 45:2 dari Undang-Undang Otonomi Khusus No. 21 Tahun 2001 menjanjikan pembentukan pengadilan HAM. Meskipun mandat ini belum dipenuhi, kantor representatif Komnas HAM sudah dibentuk di Prov. Papua. Pasal 45 – 47 dari undang-undang tahun 2001 itu tidak diamandemen, menunjukkan bahwa mandat pembentukan Pengadilan HAM di Papua tetap ada. 

Pada Mei 2004, dua aparat kepolisian diadili di Pengadilan HAM di Makassar, Sulawesi Selatan atas kejahatan kemanusiaan yang dikenal sebagai ‘Kasus Abepura’. Hal ini terkait dengan peristiwa pada bulan Desember 2000 dimana lebih dari 100 mahasiswa Papua ditangkap setelah sebuah pos polisi di Abepura diserang dan menyebabkan kematian 2 aparat dan seorang satpam. Para tahanan menjadi sasaran kekerasan yang berakibat pada luka-luka dan tiga kematian. Hampir 100 orang saksi memberikan kesaksian dan bukti dari kekerasan sistematis dengan komando yang membuat Komnas HAM merekomendasikan 25 aparat kepolisian untuk diadili, 21 bertanggung jawab secara langsung dan 4 karena tanggung jawab operasional. Dokumen ini kemudian diberikan kepada Kantor Kejaksaan Agung, namun hanya 2 aparat kepolisian yang diadili 2 tahun kemudian. Kedua aparat tersebut dibebaskan dan tuntutan korban atas kompensasi pun digugurkan.

Sangat sedikit kemajuan yang dibuat dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di Papua. Sejak tahun 2002, Komnas HAM telah menyiapkan penyidikan dari 13 peristiwa pelanggaran HAM berat, dimana semua berkas-berkas tersebut dikembalikan oleh Kejaksaan Agung. Dua dari kasus tersebut adalah kasus Wasior-Wamena dan Paniai. Peristiwa Wasior terjadi pada Juni 2001 dimana aparat keamanan menyebabkan kematian dan melakukan penghilangan paksa pada lebih dari 30 masyarakat sipil di Distrik Wasior, Provinsi Papua Barat. Peristiwa Wamena terjadi pada bulan April 2003, dimana aparat keamanan menyerang masyarakat sipil di Distrik Wamena yang menyebabkan 9 orang meninggal dan penduduk dari 25 kampung mengungsi. Sementara, peristiwa Paniai terjadi pada Desember 2014 ketika aparat keamanan menembaki kerumunan massa yang berkumpul melakukan aksi protes damai, membunuh 4 orang masyarakat sipil dan 21 orang luka berat. Meskipun pemerintah Indonesia telah berjanji untuk menyelesaikan kasus-kasus ini, belum ada kemajuan dari Kejaksaan Agung yang mengembalikan berkas-berkas kasus tersebut ke Komnas HAM dengan alasan-alasan ‘formil dan materiil’.

Reparasi: Selama tahun 2009 – 2010, MRP Kelompok Kerja Perempuan bekerja bersama Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan kelompok masyarakat sipil melakukan sebuah riset tentang kekerasan terhadap perempuan Papua sejak tahun 1963. Laporan yang berjudul ‘Stop sudah’ mendokumentasikan 260 kasus kekerasan domestik dan struktural serta catatan pelanggaran HAM terhadap perempuan yang terjadi sebelum dan sesudah Reformasi. Laporan ini kemudian diberikan kepada ketua MRP di acara publik yang diadakan di Jayapura.

Sebagai respon atas laporan ini, MRP dan DPR Papua mengesahkan sebuah peraturan daerah khusus (perdasus) pada tahun 2011 memandatkan adanya sebuah komisi di level provinsi yang bertugas untuk menyediakan dampingan untuk perempuan korban. Melalui Perdasus Pemulihan Perempuan Papua Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia dan Kekerasan, mekanisme lokal untuk pengakuan atas pengalaman kekerasan yang dialami perempuan Papua dan penyediaan pendampingan serta kebutuhan mendesak akan dibentuk. Meskipun perdasus ini sudah disahkan pada tahun 2011, mandat-mandatnya belum juga dilakukan sepuluh tahun kemudian.

Reformasi Institusi: Sejak disahkannya undang-undang otonomi khusus tahun 2001, langkah-langkah pemenuhan hak orang Papua atas pekerjaan dan untuk dipilih pada posisi-posisi strategis di pemerintahan dan lembaga-lembaga negara sudah dilakukan. Dibawah Otonomi Khusus, Majelis Rakyat Papua juga didirikan sebagai sebuah badan hukum yang memiliki fungsi: mengawasi penunjukkan jabatan-jabatan tertinggi di lembaga eksekutif dan legislatif di Papua, menyetujui kesepakatan-kesepakatan pemerintah dengan berbagai pihak yang memiliki dampak pada perlindungan hak-hak masyarakat adat, bertindak sebagai juru bicara pengaduan hak-hak adat serta memberikan masukan kepada badan eksekutif dan legislatif di tingkat provinsi tentang perlindungan hak-hak masyarakat adat. Hal yang penting juga terdapat dalam pasal 19 ayat 1 yang menetapkan bahwa 30% dari perwakilan MRP harus perempuan. Undang-undang yang sudah direvisi (2021) sedikit mengurangi peran MRP. Secara khusus, MRP tidak lagi berperan dalam menyaring calon Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR-RI) nasional.

Langkah-langkah pengakuan dan perlindungan adat dan tradisi juga sudah dimulai. Pasal 43 mengakui dan melindungi hak tanah adat dan mengharuskan adanya konsultasi dengan pemilik tanah adat untuk perubahan-perubahan penggunaan tanah. Dalam pasal 47, hak perempuan adat dilindungi secara hukum dan menyampaikan secara jelas kewajiban untuk mengusahakan setiap langkah untuk mendorong posisi perempuan yang sejajar dengan laki-laki. Pasal 28 menyediakan akses untuk pembuatan partai politik lokal dan pengesahan sebuah bendera dan lagu sebagai “simbol kultural… tidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan”. Dibanding dengan pasal 43 dan 47 yang sudah dijalankan sebagian, Pasal 28 tidak dijalankan sama sekali.

Undang-undang otonomi khusus yang baru memasukkan beberapa perubahan institusional yang berpotensi menciptakan konflik kedepannya. Seperti disebutkan sebelumnya, undang-undang ini tidak lagi mengakomodir pembentukan partai politik lokal. Di tempat yang berbeda, seperti Aceh, pembentukan partai-partai politik lokal adalah langkah yang signifikan menuju resolusi konflik. Undang-undang baru ini juga memberikan pemerintah pusat kewenangan untuk melakukan pemekaran dan membuat wilayah-wilayah administratif baru. Ini memiliki potensi munculnya konflik di masyarakat, terutama mengenai ekstraksi sumber daya alam dan korupsi.

Konflik berkepanjangan berdampak pada situasi perempuan Papua. Lihatlah video “Sa Ada Disini”