Select Page

Harapan saya ke depan pemerintah lebih peduli pada kami korban konflik, memberikan hak kami dan mengadili tentara-tentara yang dulu melakukan penyiksaan terhadap kami. Saya berharap perdamaian ini terus berlanjut, kami masih trauma dan seandainya terjadi perang lagi mungkin kami harus lari ke hutan memanggul senjata untuk menyelamatkan diri. Saat perang, walaupun kita bukan anggota GAM, tetap dituduh anggota GAM, ketika kita bertahan di gampong selalu menjadi sasaran penyiksaan oleh TNI.”
(Suryadi, korban penyiksaan dari Alu Rambe, Lhokseumawe)

Konflik Aceh dimulai pada tahun 1976 setelah Gerakan Aceh Merdeka (GAM) memproklamasikan kemerdekaan Aceh di Gunung Halimun, Kecamatan Tiro, Kabupaten Pidie, Aceh. Pemerintah Republik Indonesia menanggapi situasi tersebut dengan melakukan serangkaian operasi militer dari tahun 1982 hingga 2005. Intensitas operasi militer meningkat secara signifikan pada periode 1989-1998 yang terlihat dari tingginya eskalasi konflik dengan angkatan bersenjata GAM yang , saat itu telah menyebar ke tiga wilayah di sepanjang pantai timur Aceh, yaitu di Kabupaten Pidie, Aceh Utara, dan Aceh Timur. Akibatnya, banyak terjadi kasus pelanggaran HAM terhadap warga sipil. Pada tahun 1999, Forum Peduli HAM Aceh ( Forum Peduli HAM Aceh ), sebuah LSM lokal, mencatat bahwa selama operasi militer 1989-1998 telah terjadi setidaknya 1321 pembunuhan di luar proses hukum, 1.958 penghilangan paksa, 3.430 kasus penyiksaan, 128 pemerkosaan, dan 597 kasus pembakaran harta benda. Badan Reintegrasi Aceh ( BRA) memperkirakan hampir 30.000 orang tewas dalam konflik tersebut.

Setelah tsunami di Aceh, perundingan perdamaian dilakukan antara pemerintah RI dan pihak GAM. Sebuah perjanjian perdamaian, atau Memorandum of Understanding (MoU) antara GAM dan Pemerintah Indonesia pada tanggal 15 Agustus 2005. MoU tersebut menetapkan secara umum pemerintahan yang berdaulat di Aceh di masa depan dan berusaha untuk mengatasi penyebab utama konflik di bidang sosial, politik, dan ekonomi. MoU Helsinki menjabarkan perluasan otonomi Aceh di Indonesia, dengan konsesi Pemerintah Indonesia dalam hal-hal termasuk pembentukan partai politik lokal dan pengaturan keamanan di Aceh. Meskipun diskusi yang relatif sedikit tentang masalah keadilan dan akuntabilitas, MoU dengan jelas mengatur pendekatan keadilan transisional, khususnya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan Komisi Hak Asasi Manusia (HRC). MoU Helsinki hanya menyatakan bahwa “ Pengadilan HAM akan dibentuk untuk Aceh…[dan] sebuah KKR akan dibentuk untuk Aceh oleh KKR Indonesia dengan tugas merumuskan dan menentukan langkah-langkah rekonsiliasi.

Setelah proses yang sangat lama, pada tanggal 24 Oktober 2016, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh (KKRA) resmi berdiri dengan dilantiknya 7 orang komisioner. Komisi ini adalah hasil advokasi panjang masyarakat sipil dan korban. Sebagai bagian dari komitmen perjanjian damai yang termaktub dalam MoU Helsinki, pembentukan KKR Aceh membuka kesempatan bagi masyarakat Aceh untuk melihat secara dalam apa yang terjadi pada masa konflik dan memetik pelajaran demi menata masa depan yang lebih baik. Pembentukan KKR Aceh dilakukan berdasarkan Qanun Aceh Nomor 17 Tahun 2013 tentang KKR Aceh, berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, sebagai kelanjutan dari Memorandum of Understanding (MoU) Pemerintah Republik Indonesia (RI) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia.

Mandat KKR Aceh mencakup tiga komponen utama: (1) mengungkap kebenaran di balik pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu untuk memperkuat inisiatif perdamaian; (2) membantu mendorong rekonsiliasi antara pelaku pelanggaran hak asasi manusia (baik individu maupun institusi) dan korban; dan (3) merekomendasikan reparasi komprehensif bagi korban pelanggaran hak asasi manusia, sesuai dengan standar universal yang berkaitan dengan hak-hak korban.

KKR Aceh dipimpin oleh seorang Ketua dengan dibantu oleh seorang Wakil Ketua yang keduanya juga merupakan Komisaris. 5 Komisaris yang tersisa menjabat sebagai Ketua Kelompok Kerja (POKJA): Pencarian Kebenaran; Perempuan; Perlindungan Saksi/Korban; Reparasi, Rekonsiliasi, dan Dokumentasi; dan Publikasi. Setiap POKJA terdiri dari enam anggota.

KKR Aceh hingga saat ini telah mengambil pernyataan dari lebih dari 4.000 korban dan telah melakukan tiga kali dengar kesaksian korban.  Sejauh ini, 244 orang telah direkomendasikan kepada pemerintah Aceh untuk menerima reparasi mendesak, yaitu tindakan segera untuk memberikan bantuan darurat.  KKR Aceh sedang mempersiapkan proses rekonsiliasi akar-rumput untuk Aceh Tengah, salah satu kabupaten dengan ketegangan tinggi selama konflik , tapi ditunda karena pandemi Covid-19.  Saat ini, KKR Aceh sedang menyelesaikan database dan analisis data, sambil menyiapkan laporan akhir.  Rekomendasi laporan ini akan mencakup temuan tentang pola dan akar-masalah, sorta langkah-langkah reparasi yang komprehensif dan reformasi kelembagaan. Dalam fase berikutnya, KKR Aceh akan fokus pada rekonsiliasi, reparas dan pays untuk  melestarikan memori pelanggaran hak asasi manusia di Aceh dan untuk memastikan pemulihan korban dan penyintas.

Oktober 2021 menandai berakhirnya masa jabatan pertama Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh dan tujuh Komisioner KKR Aceh yang diangkat oleh Gubernur Aceh pada Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPR.)  Kini, Komisioner untuk periode 2021-2026 telah diangkat.