Hak Kebenaran dan Masyarakat Adat
Dalam perkembangannya, pendekatan keadilan transisi ditantang untuk juga peka terhadap persoalan diskriminasi dan penindasan terhadap masyarakat adat (indigenous people, bisa juga diterjemahkan sebagai masyarakat pribumi.) Berbagai terobosan telah dilakukan di Guatemala dan Peru, ketika dua komisi kebenaran, secara terpisah, berhasil mengungkapkan pengalaman masyarakat adat dan membuat temuan bahwa telah terjadi tindakan genosida. Kanada dan Australia juga telah memberi pengakuan resmi atas kejahatan yang dilakukan terhadap masyarakat adat, melalui mekanisme komisi kebenaran.
Masyarakat adat, khususnya mereka yang menjadi korban kejahatan sistematis, mempunyai hak atas kebenaran: hak untuk mengetahui apa dan kenapa mereka menjadi korban pelanggaran HAM berat, siapa-siapa yang terlibat, dan bagaimana memastikan bahwa pelanggaran ini berhenti dan tidak terulang kembali.
Pergumulan keadilan transisi dan masyarakat adat masih ada pada tahapan sangat awal. Berbagai pertanyaan kritis belum terjawab dan masih menjadi pencarian oleh mereka yang ingin mendorong pertanggungjawaban atas kejahatan sistematis yang dialami oleh masyarakat adat, dan perubahan yang lebih adil dan demokratis. Beberapa pertanyaan itu diantaranya adalah:
- Bagaimana pendekatan keadilan transisi dapat menjadi relevan dalam konteks dimana telah terjadi proses pemiskinan, peminggiran, dan pengerukan sumber daya alam yang berdampak negatif terhadap masyarakat adat?
- Bagaimana kita memastikan pengalaman masyarakat adat menjadi kebenaran yang diakui secara luas, termasuk oleh negara dan masyarakat umum?
- Bagaimana program reparasi dapat berkontribusi pada proses transformasi pasca-konflik sehingga dapat menghilangkan ketimpangan yang dialami kelompok masyarakat adat?
- Dapatkah keadilan transisi membuka ruang dimana masyarakat adat dan pendatang dapat mengungkapkan kesalahan masa lalu, dan kedepannya, membangun sebuah masyarakat dimana keberagaman yang dihormati.
- Apakah proses keadilan transisi juga membuka diskusi tentang kesetaraan jender dalam konteks budaya yang dipinggirkan.
Menurut Forum Permanen PBB untuk Persoalan Masyarakat Adat (atau Masyarakat Pribumi) diperkirakan terdapat sekitar 370 juta masyarakat adat, yang tersebar di 70 negara di dunia. Masyarakat adat adalah mereka yang mempraktekkan dan merawat adat istiadat yang unik, yang berbeda dari masyarakat yang dominan. Masyarakat adat adalah suku asli yang berada dalam sebuah kawasan sebelum datangnya penduduk baru, yang kemudian menjadi masyarakat yang dominan.
Mekanisme PBB untuk masyarakat adat secara sengaja tidak membuat sebuah definisi baku tentang siapa masyarakat adat, tetapi ditetapkan seperangkat kriteria tentang siapa masyarakat adat yang mencerminkan keragamanan pengalaman mereka. Kriteria ini termasuk:
- Identifikasi diri sebagai masyarakat adat.
- Sejarah yang jauh kebelakang sebelum masuknya kaum pendatang.
- Hubungan yang kuat dengan sumber daya alam.
- Sistem politik, sosial, ekonomi, bahasa budaya, dan agama yang unik.
- Bukan kelompok mayoritas atau dominan.
- Punya komitmen untuk merawat dan membangun kembali lingkungan peninggalan
- nenek-moyang sebagai identitas yang unik.
Contoh Komisi Kebenaran yang Memperhatikan Dampak Pelanggaran HAM pada Masyarakat Adat
Komisi Klarifikasi Sejarah (dikenal sebagai CEH) dibentuk berdasarkan sebuah perjanjian perdamaian yang difasilitasi oleh PBB, antara kaum gerilyawan dan pemerintah Guatemala pada tahun 1999. Komisi ini terdiri dari tiga orang komisioner, dan dipimpin oleh seorang wakil dari masyarakat internasional. Komisi diperkuat oleh data-data yang telah dikumpulkan oleh proses pengungkapan kebenaran masyarakat sipil, sebuah proses yang dikelola oleh gereja dan sebuah penelitian yang dilakukan oleh organisasi hak asasi manusia, CIID. CEH bisa menyimpulkan bahwa 83% dari korban konflik adalah masyarakat suku Maya.
Di Peru, sebuah Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (CVR) didirikan setelah konflik selama 40 tahun antara pemerintah dan kelompok gerilyawan yang menganut ajaran Mao (Shining Path). CVR mengembangkan pendekatan yang merangkul masyarakat adat, dan berhasil menyimpulkan bahwa 70% dari 87.000 korban pelanggaran HAM adalah masyarakat adat. Laporan CVR juga menunjukkan bagaimana para korban orang asli itu sama sekali tidak terlihat oleh kaum elit. CVR memberi kesempatan pada korban untuk mengungkapkan pengalamannya dan memberi ruang untuk mengakui identitasnya sebagai warga negara. Ini menjadi sebuah langkah pertama dalam menciptakan hubungan baru antara masyarakat adat dengan mereka yang berkuasa.
Di Kanada telah dimulai sebuah proses untuk mengakui kejahatan di masa lalu terhadap suku asli. Selama seratus tahun anak-anak masyarakat adat dipisahkan dari keluarganya, dimasukkan ke asrama-asrama yang jauh dari kampung asal, dan dididik untuk melupakan budaya asli mereka. Banyak anak menderita kekerasan fisik dan seksual di asrama sekolah ini. Pada tahun 2006, pemerintah Kanada dan masyarakat Aboriginal Kanada menyepakati sebuah “paket reparasi” sebesar USD 2 milyar kepada mereka yang pernah menjadi siswa di sekolah-sekolah tersebut. Dalam kesepakatan ini, korban akan mendapatkan kompensasi, sebuah program pemulihan dan memorialisasi akan digelar, dan sebuah komisi kebenaran akan dibentuk. Komisi kebenaran ini dibentuk pada tahun 2008 untuk mengungkapkan kebenaran dan menghasilkan sebuah laporan dengan temuan dan rekomendasi. Komisi ini akan bekerja selama 5 tahun, dan pada akhir mandatnya akan membentuk sebuah pusat riset untuk melanjutkan pengumpulan kesaksian dan arsip-arsip tentang masalah ini.
Di Australia, sejarah masyarakat adat, suku Aborijin, adalah cerita tentang penjajahan dan genosida. Selama hampir 100 tahun, anak-anak Aborijin, khususnya mereka yang berdarah campur, diambil secara paksa dari keluarganya untuk diintegrasikan ke dalam budaya masyarakat pendatang. Pada 1995, sebuah komisi penyelidikan didirikan oleh pemerintah untuk menginvestigasi dampak dari kebijakan ini. Komisi ini bekerja selama dua tahun dan membuat temuan bahwa setidaknya 50.000 anak telah “dicuri” dari keluarganya, antara tahun 1910- 1970. Tindakan ini adalah bagian dari kejahatan genosida.
Berbagai kasus menunjukkan bahwa anak-anak dipersulit untuk berkomunikasi dengan keluarganya dan diajar untuk menolak identitas aslinya. Banyak yang kemudian mengalami kekerasan, termasuk kekerasan seksual. Laporan Komisi ini, berjudul “Membawa Mereka Pulang” merekomendasikan agar pemerintah nasional melakukan permohonan maaf. Gubernur-Jenderal Australia menyatakan bahwa semangat nasional Australia harus mencakup tidak hanya rasa bangga atas capaian bangsa, tetapi juga pengakuan terhadap masa lampau yang memalukan. Laporan ini berhasil memperbaiki sistem perlindungan anak, dan mendorong pemberian kompensasi melalui gugatan di pengadilan, serta program kompensasi di tingkat negara bagian Tasmania. Namun pemerintah nasional bersikeras untuk tidak meminta maaf. Sepuluh tahun sesudah laporan ini selesai, pada 2007, pada saat terbentuk pemerintahan baru dibawah kepemimpinan Kevin Rudd, barulah Perdana Menteri mohon maaf atas masa lalu.
Selain Komisi Kebenaran yang memeriksa pelanggaran terhadap masyarakat pribumi di antara kelompok korban lainnya (Guatemala, Peru, Paraguay, Kolombia, Maroko, Kenya, Timor-Leste, Kepulauan Solomon, Filipina, Nepal), pada saat ini berbagai komisi kebenaran dikelola dan dipimpin oleh masyarakat pribumi sendiri:
- Komisi Kebenaran yang menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia terhadap suku asli di Kanada, Amerika Serikat, Greenland, Norwegia, Swedia, Finlandia, Australia (Komisi Yorook di Victoria.)
- Sedangkan satu contoh komisi penyelidikan (dan tribunal) hak-hak masyarakat pribumi, yang beroperasi sejak 1975 (Selandia Baru) dibentuk berdasarkan sebuah perjanjian antara suku asli Maori dan pendatang.